Mengamati
aktivitas remaja, emang asyik. Betul, nggak bohong, kok. Dunia remaja yang kaya
warna itu menyimpan pesona yang “wah”. Jujur saja, bila kita ngomongin remaja,
kayaknya seperti nggak ada abisnya. Selalu saja ada hal-hal baru—meskipun
kadang itu daur ulang dari tren sebelumnya. Lucunya lagi, apa yang dilakukan
remaja sering menjadi tren dan heboh. Meskipun hal itu menyebalkan. Sebab,
urusan salah or bener bukan perkara pokok, yang penting tren. So, akhirnya kamu
juga suka lihat, bahwa banyak di antara teman remaja yang suka bertingkah aneh;
yang penting dikenal orang dan dianggap eksis.
Herannya pula, acapkali orang kemudian
menganggap bahwa jejak yang ditinggalkan remaja bisa mengubah jalannya sejarah.
Dulu, jaman nyokap sama bokap kita remaja, kayaknya mereka juga kecipratan tren
60-an. Ya, itu jamannya kejayaan ‘generasi bunga’. Saat itu, “perang dingin”
membuat jenuh kawula muda yang muak dengan konflik ideologi, dan kemudian
menumbuhkan aksi damai anti-perang, terutama di AS dan negeri industri maju
lainnya. Aksi protes kawula muda memperjuangkan kebebasan diwarnai anarki
populisme, menanggalkan aturan formalitas dan memunculkan budaya urakan sejak
pertengahan 60-an.
Aksi protes cara damai kawula muda dengan
sebutan Generasi Bunga (Flower Generation) dengan gaya hidup eksentrik;
rambut panjang melewati bahu, pakaian serba kumal menjadi tren anak muda
kota-kota besar. Rasa solidaritas kebersamaan universal sesama kawula muda
disatukan dengan bahasa "kasih" dan menjadi universal dengan acungan
dua jari berbentuk "V", diartikan "Peace, brother", dan itu
menyebar di kalangan muda di berbagai penjuru dunia.(Suara Pembaruan)
Itu salah satu contoh, betapa tren yang
dibuat anak muda sering dianggap bisa mengubah jalannya sejarah. Nggak mesti
anak muda sih sebetulnya, orangtua juga bisa berbuat hal yang sama. Pokoknya,
bila itu rada-rada aneh--baik or buruk--akan mudah dikenal dan dijadikan
patokan, malah bukan tak mungkin bakal digandrungi dan dikagumi.
Coba, kalo kamu
buka-buka Guinness Book of Record. Di buku itu bisa kamu temukan yang
“langka tapi nyata”. Ada orang yang manjangin kuku tangannya selama puluhan
tahun, ada yang nekat nidurin papan berpaku, ada juga yang matanya bisa melotot
sampe hampir mau keluar. Wah, pokoknya banyak sekali hal-hal yang nggak lazim.
Dan konon kabarnya, mereka telah berhasil mewarnai sejarah hidup manusia. Ya,
begitulah. Termasuk bila ada orang yang memang bisa mengubah maksud dan arah
jalannya sejarah suatu masa atau orang lain, tergantung kebutuhan yang
diinginkan oleh penutur sejarah itu. Celakanya, bila kemudian sejarah yang
telah dibelokkan menjadi bahan rujukan terhadap masalah yang sebenarnya terjadi
pada masa itu. Nah, ini dia persoalannya.
Politik Islam
Ngomong-ngomong soal sejarah, penulis jadi
teringat kembali tentang sejarah perpolitikan umat Islam yang saat ini sedang
mandek. Kalaupun disebut jalan, tetapi sayangnya hal itu jalan di tempat. Pedih
dan perihnya lagi, jika sebagian dari kita menganggap bahwa kondisi sekarang
sudah oke buat umat Islam. Ibaratnya seorang bujangan yang lagi enak-enaknya
tidur siang dan sedang ngimpi dikipasin bidadari. Salah-salah, kalo kita
ngebangunin, doi bisa uring-uringan sehari semalam saking keselnya.
Nah, ini dia yang terjadi pada remaja kita
sekarang. Saat lagi enak-enaknya dibuai mimpi indah kehidupan sekarang, terus
kita usik supaya sadar tentang Islam, atau diusik supaya ngeh tentang masalah
politik umat Islam, itu namanya ngebangunin macan tidur. Udah untung nggak
murka juga. Salah-salah saking keselnya mereka lalu mencap bahwa politik itu
penghasut, politik itu najis, politik itu kotor, dan politik cuma bikin
sengsara hidup. Mereka beralasan, lihat aja bagaimana “tersungkurnya” Gus Dur
dan melenggangnya Megawati. Bukankah itu bagian dari praktik kotor politik?
Well, itu pasti bukan murni pendapat kamu
sebagai seorang muslim. Sebab, seorang muslim yang mengerti betul Islam, kagak
bakalan sewot begitu bila ngomongin soal politik. Kamu, dan juga orang yang
berpendapat begitu, pasti pikirannya udah dijejali dengan model kehidupan
asing. Kamu udah berpikir dan berperasaan yang bukan Islam. Pikiran dan
perasaan kamu telah teracuni oleh pemikiran dan perasaan ideologi lain di luar
Islam. Itu sebabnya kamu bisa marah bila disadarkan supaya kembali kepada
Islam. Itu sebabnya pula kamu bisa gondok banget kalo harus diingatkan supaya
bergaya hidup Islam.
Ini wajar, sebab, sebagian besar umat Islam
ini—termasuk remaja Islam tentunya—menganggap bahwa sekarang sedang menikmati
mimpi indah kehidupan. Segala pesona kehidupan yang ditawarkan saat ini
betul-betul memanjakan hidup. Mau minum alkohol, nggak dilarang, mau berzina, monggo
saja, mau korupsi juga diberikan jalan dan cara-caranya, mau bergaya busana apa
saja silakan. Nggak ada yang ngelarang or usil. Bebas merdeka aja tuh. Kalo pun
kemudian ada yang berani ngutak-ngatik, yang merasa terusik suka bilang,
“Jangan ganggu kami. Ini HAM”. Nha, lho?
Kalo mereka diarahkan supaya merhatiin
masalah politik—khususnya politik Islam, mereka suka marah dan masa bodoh
karena ketidaktahuannya. Itu pasti. Sebab, problemnya emang udah berlangsung
amat lama. Ibaratnya udah mendarah-daging dalam tubuh. Atau kalo besi udah
banyak karatnya, hingga nyaris sulit untuk dibersihkan lagi. Jangankan
remajanya, orangtuanya pun nggak ada jaminan untuk sadar politik Islam saat
ini. Aduh, betul-betul menyakitkan banget kenyataan hidup kita saat ini. Antara
Islam dan umatnya malah berseberangan jauh. Jauuuuh sekali.
Padahal, kalo kita buka lembaran sejarah,
Islam dan umatnya telah meraih berbagai kemajuan yang mencengangkan untuk
ukuran saat itu. Berbagai futuhat (penaklukan); baik dengan damai maupun
perang, telah mengantarkan Islam menjadi negara super power alias
adidaya di jamannya. Dan itu berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang
dan lama. Bayangkan, sejak masa Rasulullah saw., kemudian dilanjutkan oleh khulafa
ar-Rasyiddin, lalu diteruskan oleh sahabat-sahabat yang lain dari kalangan tabiin,
juga tabiit tabiin, dan seterusnya hingga berakhir di Turki pada 3 Maret
1924 M. Emang, itulah akhir yang sangat menyakitkan. Sangat mengherankan bila
kita terus tinggal diam.
Kamu wajib tahu lho, sejak dibubarkannya
Khilafah Islamiyah (pemerintahan Islam) oleh Musthafa Kemal at-Taturk yang
bekerjasama dengan Inggris itu, umat Islam mengalami berbagai keterpurukan. Ancaman
dan gangguan datang silih berganti. Berbagai pergolakan muncul dimana-mana.
Umat Islam, yang tadinya bersatu, kini berpencar memiliki “negara”
masing-masing dalam bingkai nasionalisme. Tentu, dengan negeri-negeri kerdil
seperti ini--yang juga merupakan skenario Barat dalam memotong-motong wilayah
Islam--umat Islam sulit untuk menyebut kata sepakat. Sejak saat itu sampai
sekarang, kita betul-betul menjadi bulan-bulanan musuh-musuh Islam.
Akhirnya, umat Islam mengalami “depolitisasi”
yang amat hebat. Kita dijauhkan banget dengan istilah yang namanya politik.
Kita menjauh, sebab istilah itu telah diplintir menjadi sesuatu yang buruk. Hal
itu dilakukan bisa lewat bacaan, bisa lewat pendapat para pakar, atau
menyaksikan sendiri praktik-praktik politik. Padahal, pendapat para pakar yang
diekspos media massa nggak lepas dari ideologi yang beragam alias tidak hanya
Islam. Bisa kapitalis, atau bisa juga sosialis-komunis. Walhasil, sampai pada
kesimpulan bahwa politik itu kejam, politik itu kotor, politik itu najis,
penghasut dan seabreg julukan jelek lainnya tentang politik.
Padahal pengertian politik yang bener adalah
seperti terdapat dalam kitab Mafahim Siyasiyah,
dijelaskan bahwa politik adalah ri’ayatusy syu’unil ummah, alias
pengaturan urusan ummat. Adapun pengaturan urusan ummat tidak melulu urusan
pemerintahan seperti sangkaan banyak orang, melainkan termasuk di dalamnya
aspek ekonomi (iqtishadi), pidana (uqubat), sosial (ijtima’i),
pendidikan (tarbiyah) dan lain-lain. Dalam pandangan
Islam, nggak dikenal praktik politik seperti jaman sekarang. Yang cuma urusan
kekuasaan tok, tapi rakyatnya malah sengsara dan tidak membawa nikmat. Bukan
tak mungkin bila ujung-ujungnya malah memunculkan sikap antipati terhadap
politik dari umat Islam. Dengan alasan, politik bikin bulu kuduk merinding.
Umat Islam sekarang tersungkur dan
terjerembab ke dalam jurang penderitaan yang amat dalam. Berbagai konflik
nyaris tak bisa diselesaikan dengan baik dan cepat. Hal itu disebabkan, selain
karena umat Islam ini tidak bersatu, juga karena mereka sudah tergoda untuk
mewarnai kehidupannya dengan aturan hidup lain selain Islam.
Coba saja kita perhatikan, saudara-saudara
kita di Ambon dibantai kaum Salib, sebagian yang lain malah sibuk ngurus
kehidupannya sendiri. Peran negara pun yang seharusnya menjadi pelindung,
nyaris tak terdengar suaranya. Para pejabatnya aja malah sibuk mengamankan
jabatannya masing-masing. Di jalanan banyak anak terlantar, tapi di sisi lain,
gaya hidup para konglomerat udah mewah banget (super premium), yang tanpa ada
sedikitpun rasa iba untuk membantu yang lemah. Padahal, dulu di masa kejayaan
Islam, penguasa begitu peduli terhadap keadaan rakyatnya. Ambil contoh, suatu
ketika seorang muslimah di kota Amuria—terletak antara wilayah Irak dan Syam—berteriak
meminta pertolongan karena kehormatannya dinodai oleh seorang pembesar
Romawi.
Teriakan itu ternyata “terdengar” oleh
Khalifah al-Mu’tashim, pemimpin umat Islam saat itu. Kontan saja ia mengerahkan
tentaranya untuk membalas pelecehan tersebut. Dan bukan saja sang pejabat nekat
itu, tapi kerajaan Romawi langsung digempur. Sedemikian besarnya tentara kaum
muslimin hingga diriwiyatkan, “kepala” pasukan sudah berada di Amuria sedangkan
“ekornya” berakhir di Baghdad, bahkan masih banyak tentara yang ingin
berperang. Fantastis! Dan untuk membayar penghinaan tersebut 30.000
tentara musuh tewas dan 30.000 lainnya menjadi pesakitan.
Nah,
inilah buktinya bila Islam diterapkan sebagai akidah dan syariat. Sebab Islam
adalah ideologi. Urusan dunia sama pentingnya dengan urusan akhirat. Itu
sebabnya, dalam pandangan Islam, untuk mengatur kehidupan dunia pun kudu ada
hubungannya dengan akhirat. Ini membuktikan bahwa Islam itu sempurna. Firman
Allah Swt.:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS al-Mâidah [5]: 3)
Jelas ini juga
membuktikan bahwa Islam bertentangan banget dengan sekularisme. Sebab dalam
sekularisme, agama dipisahkan dari politik (kehidupan). Dengan kata lain, agama
nggak boleh mencampuri urusan duniawi (negara). Napsi-napsi aja deh. Makanya
wajar kalo ada yang sholatnya getol, tapi maksiatnya juga nggak pernah absen.
Malah ada juga yang sulit ngebedain mana perintah Allah, dan mana larangan-Nya.
Akhirnya wajar kalo suka ketuker-tuker tuh. Yang halal malah diharamkan, dan
yang haram disulap jadi halal. Ya, inilah kapitalisme dengan akidah
sekularismenya.
Perlu
kesadaran politik
Muhammad Muhammad Ismail dalam kitab Al Fikru Al
Islamiy menyebutkan bahwa kesadaran politik (wa’yu siyasi) haruslah
terdiri dari dua unsur. Pertama, kesadaran itu haruslah bersifat universal atau
mendunia (internasional). Bukan kesadaran yang bersifat lokal semata. Kalo kamu
yang sudah hidup di jaman yang serba digital tapi pikirannya masih lokal
apalagi nggak punya pikiran model begitu, wah nggak kelas deh. Tengok dong
saudara-saudara kita di Palestina, Uzbekistan, Tajikistan, Kashmir, Filipina,
atau saudara kita di Maluku, Aceh, dan berbagai belahan dunia lainnya. Kita
harus tahu dan peduli dengan keadaan mereka. Apakah sekarang lagi menderita
atau bahagia. Harus sampai ke situ. Itulah namanya mondial alias mendunia.
Jangan cuma tahu perkembangan artis doang, nggak ada gunanya kayak begituan
mah. Catet ya!
Nah, unsur
yang kedua adalah kesadaran politik yang dimiliki remaja harus
berdasarkan pada sudut pandang tertentu alias zawiyatun khosshoh. Dengan
kata lain remaja Islam harus bertindak subyektif dan obyektif dalam menilai
peristiwa politik yang terjadi. Maksudnya, subyektif karena memang harus
didasari pada sudut pandang Islam. Obyektif artinya tekun dan teliti dalam
‘membaca’ peristiwa yang terjadi. Ketelitian dan keakuratan memahami peristiwa
politik, mutlak harus kamu miliki. Kenapa? Sebab, banyak peristiwa politik yang
sering dikamuflase alias diputar-balikkan faktanya. Dan kerap menutup-nutupi
berita. Misalkan, satu orang Palestina yang menyerang tentara Yahudi Israel,
tapi aneh bin ajaib yang muncul di koran adalah tentara Israel diserbu teroris.
Dan sebaliknya ketika puluhan tentara Israel membantai penduduk Palestina, yang
muncul dalam berita adalah, upaya pembelaan diri tentara Israel. Wah, ini kan
nggak benar. Maka, akhirnya kamu memang kudu obyektif juga.
Apa kenyataannya sekarang? Sayangnya, pendidikan politik untuk remaja
tak bisa dibilang bagus. Justru malah sebaliknya. Remaja dilarang mencicipi
manisnya politik. Akibatnya, remaja malah “dipolitikin” oleh ideologi selain
Islam. Buktinya? Banyak remaja yang malah menjadi plagiator budaya Barat. Kalo
sudah begitu, wajar bila sekarang, dan juga nanti di masa depan, hanya akan
bermunculan generasi “politik” yang hanya bisa kwek, kwek,kwek!Sumber : Buletin Cendekia