Memang tak mudah hidup di
jaman sekarang. Serba sulit, serba bingung, en tentunya serba was-was. Maklum,
hidup di jaman sekarang membutuhkan beragam trik. Agar di jalan nggak memancing
lirikan mata copet, maka kamu kudu waspada dalam menjaga penampilan. Maklum,
"lirikan" copet bisa merobek kantongmu. Rasa aman memang mahal.
Begitupun supaya dapur tetep ngebul, kita kudu lihai putar otak. Maklum, jaman
krismon harga sembako dan harga barang lainnya serba mahal. Sulit dikejar deh.
Nah, karena alasan ini
pula, sebagian ibu-ibu merasa nggak betah dengan penghasilan sang suami. Uang
10 ribu perak rasanya cuma ngepas untuk belanja sehari dengan menu makanan yang
standar. Maksudnya, standar kere. Aduh, kasihan deh. Makanya, banyak ibu-ibu
yang terjun untuk membanting tulang ngebantuin suami. Akhirnya, sektor publik
banyak dipenuhi kaum Hawa. Di pasar, di kantor, dan juga di pabrik. Semua
berlomba menuai harapan dan mimpi menjadi wanita karir dan banyak duit.
Lisma, sebut saja begitu.
Selepas kuliah langsung terjun mengais rupiah di kantor mentereng di lokasi
se-strategis kawasan segi tiga emas Jakarta .
Jabatan yang disandangnya pun bikin kaum cowok yang minder bisa ketar-ketir.
Lisma sebagai manager marketing andalan kantornya. Untuk itu ia harus ikhlas
(baca: terpaksa) mengikuti aturan main yang dibuat perusahaannya. Pakaian harus
yang elegan, tapi dengan mengorbankan bagian tubuhnya dilirik dan dinikmati
banyak orang. Gaya
bicara harus sopan dan menjaga etika bisnis. Waktu, baginya terasa tak bermakna
lagi. Sebab, hampir sepanjang pagi sampai malam, harus bisa memberikan yang
terbaik buat perusahaan. Imbalannya? Tentu saja karir dan duit. Sampe-sampe di
usianya yang udah berkepala tiga ini, Lisma kesulitan mencari pendamping hidup.
Mungkin, karena ia nggak punya waktu untuk mikirin begituan, atau bisa juga
kaum Adam rada keder kalo harus berhadapan dengan wanita yang status sosialnya
lebih tinggi dari dirinya. Banyak hal, selain tentunya faktor jodoh.
Bagi sebagian kalangan
yang mendukung gerakan feminisme, Lisma adalah contoh konkrit gerakan mereka.
Bahwa wanita harus tumbuh, berkembang, luwes, cerdas, dan mampu menjadi dirinya
sendiri tanpa kudu merasa tergantung kepada kaum Adam. Begitulah, Kartini yang
satu ini. Modern, enerjik, tapi melupakan segala hal yang berkaitan dengan
dunia kewanitaannya. Kasihan memang.
Sobat muda muslim, inilah
satu fakta tentang geliat kaum Hawa saat ini. Masih ada lho yang lainnya. Marina , demikian sapaan
akrab gadis manis anak cikal seorang petani di kampungnya. Marina dibesarkan dalam kultur yang membekap
dan mengekang gerak kaum wanita. Beruntung, Marina bisa sekolah di kota , meski tidak seberuntung Lisma yang bisa
mengecap bangku kuliah. Pengalamannya bergaul dengan banyak kalangan membuatnya
tumbuh menjadi aktivis pejuang hak-hak wanita. Di pabrik tempat dirinya
bekerja, Marina
terkenal sebagai penggerak demo buruh. Utamanya berkaitan dengan tuntutan
hak-hak pekerja wanita. Marina ,
bukan Marsina. Tapi emang punya kesamaan jalan hidup. Meski nggak sampe
didzalimi seperti Marsina. Karuan aja, Marina
jadi andalan kaumnya yang kebanyakan memang bersikap melunak alias nggak mau
ambil pusing. Sebagai seorang wanita, teman-teman Marina di pabrik memang cenderung nrimo aja
dengan kondisi yang menimpa mereka. Hanya Marina yang mau bersuara lantang
menentang sikap sewenang-wenang kaum borju-begitu biasanya mereka menyebut
bosnya.
Sobat muda muslim, Marina adalah
"Kartini" Millenium yang kental dengan perjuangannya membela hak-hak
wanita. Sebab, dalam pandangan dara dari desa ini, kaum lelaki sudah melanggar
hak kaum wanita. "Harusnya sama dong hak kita dengan kaum lelaki!"
cetusnya suatu saat.
Nggak betah di rumah
Rumah adalah penjara.
Begitu kata sebagian kaum Hawa yang nekat terjun menjalani kehidupan di
jalan-jalan. Rela bergelantungan di bis dan KRL, nggak takut lagi dari ancaman
penodong dan penjahat. Alasannya, itulah bagian dari realitas hidup. Bahkan
sangat boleh jadi, bagi para aktivis pejuang hak wanita, itu adalah bagian dari
sebuah perjuangan. Pengorbanan adalah bumbunya. Wah, heroik sekali.
Sobat muda muslim,
"Kartini-Kartini" yang tadi udah bisa mewakili kondisi kaumnya saat
ini. Di jaman millenium. Tentu aja, sebab fakta ini yang dominan di tengah
kehidupan abad digital ini. Emang sih ada juga yang baik-baik. Tapi ya..
jumlahnya bisa diitung dengan jari. Maksudnya dikit banget.
Fakta ini tentu aja bikin
kita ketar-ketir dengan masa depan generasi mendatang. Khawatir banget deh.
Kamu bisa bayangkan sendiri, gimana jadinya masa depan kita, dan adik-adik kita
nanti. Sebab, gimana bisa merasakan kasih sayang sang ibu, kalo tiap hari ia
harus belajar sendiri tanpa didampingi sang ibu. Ortunya lebih banyak di luar
rumah. Kasihan memang. Percaya atau nggak, kondisi ini bisa menyumbang angka kerusakan
dan kejahatan sosial. Sebab, anak-anak akan belajar sendiri tentang
kehidupannya.
Anak-anak yang hidup tanpa
bimbingan ortu, cenderung lepas kendali, alias liar. Akibatnya, ia bisa saja
salah gaul. Nggak heran kan
kalo kemudian ditemukan anak yang nenggak miras, ngisep putauw, atau pelaku
aktif seks bebas. Walah, rusak banget kan ?
Seandainya para ibu dan
juga kaum wanita memahami posisinya yang benar dalam Islam, rasanya kondisi ini
bisa ditekan dan dikontrol. Nggak bebas bin liar seperti sekarang.
Kartini Vs
"Kartini"
Kayaknya nggak banyak anak
puteri atau kaum wanita dewasa saat ini yang ngerti betul perjuangan Kartini.
Yang mereka paham hanya satu: emansipasi. Itupun dengan tafsir sendiri dan
terkesan suka-suka. RA. Kartini yang tekun memberikan wacana berpikirnya
tentang wanita, ternyata dipahami salah oleh "Kartini" Millenium.
Contohnya aja, kalo Kartini dulu rela dimadu, "Kartini" Millenium
menganggapnya sebagai pelecehan atas kebebasan wanita. Kan kebalik-balik ya? Wajar, sebab,
perjuangan mereka udah kecampur dengan perjuangan kaum kapitalis. Rusak deh.
Sobat muda muslim,
rasanya, Kartini juga nggak mengajarkan kebebasan bagi kaum wanita yang kelewat
batas seperti sekarang. Kudu malu dong "Kartini-Kartini" millenium.
Jangan ngaku-ngaku mengikuti jejak Kartini dengan aktivitas liarnya yang
kelewat batas. Seolah-olah Kartini mengajarkan itu. Padahal, nggak seliar itu kan Kartini mengajarkan
wawasannya?
Gaung emansipasi yang
kerap digembar-gemborkan oleh kalangan wanita saat ini, sebenarnya bukan madu,
tapi adalah racun. Sebab, untuk sekadar merasa tidak terikat dan tidak
tergantung kepada lelaki, para wanita banyak yang terjun di sektor publik;
khususnya di industri. Merasa bahwa itu adalah sebuah bagian dari kebebasan,
kaum wanita banyak yang lupa diri. Nggak heran kalo sekarang banyak bermunculan
profesi kaum wanita yang sebetulnya telah menjerumuskan mereka sendiri kepada
kerusakan. Iklan misalnya, telah merenggut kebebasan wanita. Karena mereka
ternyata tetap dikendalikan dengan tuntutan profesinya. Apakah itu yang
diinginkan kaum hawa dengan emansipasinya? Rasanya, bagi yang mikir-mikir,
nggak bakalan nekat menerjuni karir seperti itu. Bila demikian, emansipasi
adalah racun, bukan madu. Ngeri banget ya?
Pada masyarakat bebas
kayak begini, wanita dididik untuk melepaskan segala ikatan normatif, kecuali
kepentingan industri. Tubuh mereka dipertunjukkan untuk menarik selera
konsumen. Coba bayangin, betapa konyolnya, iklan mobil mewah rasanya belum
lengkap kalau tak hadir disampingnya gadis berbodi aduhai. Permen rasanya belum
manis kalau tak menyertakan penampilan gadis dengan bibir sensual mengunyah
permen. Dengan mengesankan adegan udah mandi, Lisa Natalia mengiklankan produk
pompa air. Apa hubungannya coba? Udah gitu, gaya dan kata-katanya bikin gimanaaa.. gitu.
Walah, bikin deg-degan gitu, lho.
Akibat lanjutnya,
pelecehan seksual menjadi tren tersendiri. Digandrungi sekaligus dikecam.
Saling tunjuk hidung antara kaum cowok dan kaum cewek sudah biasa. Sama-sama
tak mau disalahkan. Kaum pria protes ketika dituduh sebagai biang kerok
pelecehan seksual. Ramai-ramai para pria berdalih menirukan gaya sebuah iklan layanan masyarakat yang
bunyinya, "Bagaimana angka perkosaan akan semakin rendah kalau pakaian
anda semakin tinggi?" Masalahnya beres? Tak cukup sampai di situ, ternyata
kaum wanita juga menuduh para cowok karena tak mampu menahan nafsu. Tak ada
yang mau kalah dan disalahkan. Kacau banget kan ? Itulah kapitalisme.
Berkaca kepada Islam
Amat bijak tentunya bila
kita mencoba mengembalikan semuanya kepada kebenaran ajaran Islam. Artinya,
kita merujuk kepada Islam. Anna Rued yang menulis dalam sebuah bukunya-Eastern
Mail, ia menyebutkan bahwa "Kita harus iri kepada bangsa-bangsa Arab yang
telah mendudukkan wanita pada tempatnya yang aman. Dimana hal itu jauh berbeda
dengan keadaan di negeri ini (Inggris) yang membiarkan para gadisnya bekerja
bersama laki-laki di kilang-kilang minyak-yang tidak saja menyalahi
kodrat-tetapi bisa menghancurkan kehormatannya."
Yup, demikian pengakuan
jujur seorang penulis bule. Bagaimana dengan kita? Padahal, kita udah punya
panutan, yakni Nabi Muhammad saw. yang senantiasa memberikan bimbingan dalam
banyak hadisnya. Banyak pula wanita teladan di masa kejayaan Islam yang patut
diacungi jempol. Kenapa tidak meneladani mereka?
Suatu ketika-saat sidang
Asma melontarkan pertanyaan yang membebani kaum wanita. "Ya Rasulullah.
Aku mewakili kaum wanita untuk menanyakan kepadamu tentang beberapa hal.
Bukankah engkau diutus oleh Allah untuk rahmat bagi manusia-laki-laki dan wanita?
Namun dalam beberapa masalah ternyata kami merasa dibedakan dengan laki-laki.
Kami sama-sama beriman dan bertakwa, namun kami juga merasa iri dengan
perbuatan kaum laki-laki yang seolah menempatkan mereka pada posisi yang baik
untuk mendapatkan pahala yang besar. Mereka boleh berjihad, sementara kami
hanya mengurus anak-anak dan menjahit pakaian mereka. Mereka diberi kesempatan
untuk mendapatkan pahala sholat jumat, sementara kaum wanita tak boleh.
Bagaimana ini ya Rasulullah?"
Rasulullah tersenyum dan
berkata kepada Asma': "Wahai Asma' kau pahami dan sampaikan nanti pada
kaummu. Kebaktianmu pada suami dan usaha mencari kerelaannya telah meliputi dan
menyamai semua yang dilakukan suami kalian (kaum pria)," jawab Rasulullah
singkat, namun padat dan bermakna tinggi.
Sobat muda muslim, Islam
juga memuliakan kaum wanita. Untuk itu, kaum wanita ditempatkan pada posisi
yang aman, terhormat dan terjaga kesuciannya. Suatu ketika seorang muslimah di kota Amuria-.terletak
antara wilayah Irak dan Syam-berteriak minta tolong karena kehormatannya
dinodai oleh seorang pembesar Romawi. Teriakan ini ternyata terdengar oleh
Khalifah Mu'tashim, pemimpin umat Islam saat itu. Kontan saja ia mengerahkan
tentaranya untuk membalas pelecehan itu. Bukan saja sang pejabat, tapi kerajaan
Romawi langsung digempur. Untuk membayar penghinaan tersebut 30.000 tentara
musuh tewas dan 30.000 lainnya menjadi tawanan.
Sayangnya, kondisi seperti
itu belum bisa kita saksikan sekarang. Dan nggak bakalan kita saksikan selama
sistem kehidupannya bukan Islam. Dalam sistem kapitalisme seperti sekarang ini,
rasa aman, kehormatan, dan kesucian diri amat mahal. Nggak bisa kita beli kalo
kita nggak punya duit. Negara bukannya memberikan rasa aman, tapi sebaliknya,
menyediakan fasilitas dan suasana yang bisa bikin kaum wanita menderita. Untuk
itu, berkacalah kepada Islam, khususnya bagi "Kartini-Kartini"
millenium ini. Dengan taat dan patuh kepada ajaran Islam, insya Allah selamat
dunia dan akhirat. Gimana mulainya? Mari belajar tentang Islam. Islam sebagai
sebuah ideologi.
Sumber : Buletin Studia