Kamu udah dewasa kan ? Kalo belum,
pertanyaan di judul ini kayaknya perlu dijawab dengan tegas. Tapi saya rasa
kamu yang pada baca buletin ini sudah banyak yang dewasa. Ayo, ngaku aja (bukan
nuduh lho, tapi ini sekadar menegaskan). Eh, tapi nggak salah juga kalo ada
yang baca buletin ini masih belum dewasa alias belum baligh, misalnya anak SD
dan SMP. Silakan aja.
Sobat muda, kalo lihat tayangan
televisi di sudut kiri atas atau kadang di bawah kiri (tergantung maunya
masing-masing pengelola televisi sih) biasanya suka tercantum lambang: “Dewasa”
dengan huruf “D”, “Bimbingan Orangtua” dengan ikon “BO”, dan “Anak-anak”
ditulisi dengan ikon “A”; malah ada juga tontonan satu untuk semua—”SU” alias
Semua Umur. Meski efektifitasnya juga masih belum terbukti dengan bagus.
Oya, konon kabarnya pelabelan itu
sebagai bentuk kepedulian pihak penyelenggara siaran untuk mengelompokkan
pemirsanya. Jadi, mereka merasa bahwa dengan memberikan panduan seperti itu
para orangtua bisa memantau anak-anaknya dalam menonton tayangan televisi.
Misalnya, kalo sebuah tayangan tercantum lambang “Dewasa”, maka ortu berhak
menegur anaknya atau memintanya dengan cepat untuk mengalihkan ke chanel lain.
Nah, kamu termasuk kelompok yang mana nih? Udah dewasa belum? (jawab dalam hati
aja ya… soalnya ada juga yang udah bangkotan tapi masih seneng film kartun—yee
apa hubungannya? Emangnya film kartun khusus anak? Nggak juga kan ?—ini kok malah ngelantur kemana-mana)
Oya, sebenarnya dalam “kamus”
ajaran Islam tak dikenal istilah remaja. Ajaran Islam dalam menilai manusia itu
hanya dengan dua kriteria: anak-anak dan dewasa. Perubahan dari dunia anak-anak
menjadi dewasa ditandai dengan perubahan pada hormon-hormon seksualnya, seperti
pada anak laki-laki sudah mengalami ihtilam (mimpi basah, yakni pas mimpi
keluar sperma, bukan karena diguyur air se-ember). Buat anak perempuan sudah
mulai haid alias datangnya ‘tamu bulanan’. Dalam Islam, kejadian itu dikenal
dengan istilah sudah “baligh”.
Nah, jika sudah baligh, berarti
ia sudah terbebani hukum (mukallaf). Artinya, segala perbuatannya dalam
menjalani kehidupan ini akan dicatat. Jika berbuat baik, pahala ganjarannya,
jika berbuat salah, dosa yang ia dapat. Tapi jika masih anak-anak, tak akan
dinilai baik atau buruk, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Diangkat pena dari
tiga orang; orang yang tidur sampai ia bangun, anak hingga baligh, dan orang
yang gila sampai ia sembuh.” “Pengangkatan pena” (tidak dicatat amalnya)dari
mereka maksudnya adalah mereka bukanlah mukallaf secara syar’i.
Mengenal pubertas
Rasanya nggak ada salahnya jika
teman remaja mengenal masa-masa ini. Bahkan mungkin sangat perlu, karena emang
berkaitan dengan kehidupan kita sendiri. Nah, dalam perkembangan fisik dan jiwa
manusia, para pakar psikologi mengenalkan istilah “masa pubertas” atau puber.
Omong-omong, pada usia berapa sih remaja mengalami pubertas?
Menurut para ahli perkembangan
jiwa, usia remaja mengalami pubertas adalah pada usia 14 - 16 tahun. Masa ini
disebut juga “masa remaja awal”, dimana perkembangan fisik mereka begitu
menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga
bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak-anak lagi. Catet, bukan
anak-anak lagi, lho.
Pada masa ini, emosi remaja
menjadi sangat labil akibat dari perkembangan hormon-hormon seksualnya yang
begitu pesat. Keinginan seksual juga mulai kuat muncul pada masa ini. Pada
remaja wanita ditandai dengan datangnya menstruasi yang pertama, sedangkan pada
remaja pria ditandai dengan datangnya mimpi basah yang pertama.
Remaja akan merasa bingung dan
malu akan hal ini, sehingga orang tua harus mendampinginya serta memberikan
pengertian yang baik dan benar tentang seksualitas. Jika hal ini gagal
ditangani dengan baik, perkembangan psikis mereka khususnya dalam hal
pengenalan diri/gender dan seksualitasnya akan terganggu. Kasus-kasus gay dan
lesbi banyak diawali dengan gagalnya perkembangan remaja pada tahap ini.
Di samping itu, remaja mulai
mengerti tentang gengsi, penampilan, dan daya tarik seksual. Karena kebingungan
mereka ditambah labilnya emosi akibat pengaruh perkembangan seksualitasnya,
remaja sukar diselami perasaannya. Kadang mereka bersikap kasar, kadang lembut.
Kadang suka melamun, di lain waktu dia begitu ceria. Perasaan sosial remaja di
masa ini semakin kuat, dan mereka bergabung dengan kelompok yang disukainya dan
membuat peraturan-peraturan dengan pikirannya sendiri. Itu sebabnya, cenderung
semau gue.
Kesalahan berpikir
Seringkali para orangtua menilai
bahwa remaja yang berbuat “aneh” dan bahkan terkesan nakal dianggap sebagai
sebuah kewajaran. Dianggap biasa saja. Misalnya, ketika ada temen-temen remaja
yang mengecat rambutnya pakai pylox disikapi bahwa itu bagian dari perkembangan
jaman. Melihat remaja yang asyik berpacaran, tak merasa bahwa itu membahayakan.
Apalagi sampai berdalil, “Saya juga dulu seperti itu...” Wah, musibah besar
namanya nih kalo ada ortu yang berpikiran kayak gitu.
Nggak hanya itu, seringkali juga
para orangtua secara umum membiarkan bebas anak remajanya untuk berbuat
sesukanya dengan alasan bahwa itu bagian dari upaya mencari jadi diri. Kalo
dikekang, bisa berbahaya. Nah, jika dikekang bisa berbahaya, apakah ada jaminan
kalo dibiarkan bebas sesukanya tidak akan membahayakan? Betul ndak?
Sobat muda muslim, kesalahan
berpikir seperti ini nggak cuma ada di kalangan para orangtua, tapi juga di
antara kita sendiri. Yup, kita sendiri seringkali menganggap enteng masalah.
Bahkan kesannya mengampuni diri sendiri dan memiliki standar ganda dalam
menilai satu masalah. Aneh banget kan ?
Misalnya, ketika terlibat tawuran kita bilang ke temen-temen dan ke orang-orang
bahwa kita sebagai remaja pemberani. Ketika kita pacaran, kita bilang ke siapa
pun bahwa kita sudah dewasa. Udah gede. Tapi ketika ada razia KTP atau kena
batunya pas digiring ke kantor polisi, kita ngaku-ngaku masih anak-anak. Biar
nggak kena sanksi alias hukuman. Gimana nih?
Kondisi seperti ini kalo boleh
dibilang sebagai “kedewasaan yang menjanin” dan masa kanak-kanak yang “menua”.
Artinya, masa remaja adalah masa transisi. Lepas dari masa kanak-kanak dan
masuk (tapi belum semuanya) ke masa dewasa. Jadi masih bisa berubah-ubah alias
belum stabil. Di sinilah perlunya bimbingan yang benar dan arahan yang jelas
dan pasti. Tidak dikekang, tapi juga tidak dibiarkan liar. Sehingga tidak
terjadi kesalahan dalam berpikir. Baik bagi para orangtua yang menilai perilaku
remaja, maupun bagi teman remja itu sendiri. Karena apa? Karena kesalahan dalam
berpikir akan membawa dampak yang parah pada penilaian dan penanganan kasus
yang terjadi di kalangan remaja. Contohnya, untuk tindak kriminal remaja,
polisi biasanya tidak bisa memberi hukuman seperti kepada orang dewasa. Bahkan
cenderung hanya memberi sanksi ringan. Padahal, dalam Islam, jika sudah baligh
ya sudah masuk kategori dewasa. Jadi jelas sudah terbebani hukum. Dia wajib
melaksanakan perintah dan wajib pula menghindari larangan yang diatur dalam
ajaran agama.
Bukan cuma tongkrongan dan
‘onderdil’
Nah, ngomongin tentang
kedewasaan, jadi teringat sebuah semboyan iklan rokok yang berbunyi, “Tua itu
pasti, dewasa itu pilihan”. Cukup bagus dan menyegarkan. Kenapa? Karena usia
tua itu pasti, tapi soal kedewasaan berpikir belum tentu berbanding lurus
dengan usianya. Sebaliknya, meski masih usia 17-an (setelah baligh), tapi sudah
dewasa secara pikiran. Itulah kenapa dewasa itu disebut sebagai pilihan. Karena
apa? Karena memang bisa dipilih. Bisa diupayakan untuk ‘mengatur’ diri ini
dengan hiasan amal kita. Amal yang baik, atau amal yang buruk. Tapi, sebagai
seorang muslim, tentunya kita wajib banget untuk memilih jalan hidup dan amal
perbuatan yang memang dibenarkan oleh Islam. Oke?
Dalam pandangan Islam, dewasa
tidak hanya ditinjau dari perubahan secara biologis, tapi juga pola berpikir.
Itu sebabnya, jika seorang remaja sudah berpikir dewasa, maka ia akan tahu arti
tanggung jawab, meminta maaf, berkorban untuk orang lain, menghormati orang
lain, berjuang untuk agama, patuh pada orang tua, amanah, jujur, cinta dan
kasih, taat pada aturan Allah Swt. dsb. Jika masih gemar melakukan kemaksiatan,
berarti belum dewasa secara pikiran. Padahal, secara biologis sudah sangat
dewasa, gitu lho.
Itu sebabnya, seringkali kita
saksikan dalam kehidupan nyata ada orang yang masih betah berbuat maksiat.
Padahal, umurnya sih udah menjelang “maghrib” alias udah sepuh. Kepada model
orang yang seperti ini, kita bisa bilang bahwa dia belum dewasa. Secara fisik
memang udah dewasa, tapi secara pemikiran dan perbuatannya masih “anak-anak”.
Cemen deh!
Sobat muda muslim, dengan kata
lain, bukan cuma tongkrongan dan ‘onderdil’ di tubuh sebagai ukuran untuk
menilai sebuah kedewasaan. Terlalu sederhana. Karena dalam Islam, selain ukuran
fisik, cara berpikir dan apa yang dilakukan juga harus masuk penilaian.
Menyiapkan diri jadi dewasa
Karena menjadi dewasa adalah
sebuah “pilihan”, maka tentunya harus direkayasa alias disiapkan. Nggak bisa
dibiarkan alami. Karena memang jadi dewasa dalam cara berpikir itu bukan
kebetulan, tapi pilihan. Itu sebabnya, ada pelatihannya juga. Memang sih, model
pelatihannya nggak perlu dibuat semacam jenjang akademik, tapi melalui
“schooling society” (sekolah kehidupan). Di sinilah kita belajar.
Istilahnya, “learning society”. Belajar
dari masyarakat.
Kita bisa membandingkan para
pemuda Islam di jaman Rasulullah saw. Banyak para pemuda di jaman itu yang
rindu dan cintanya kepada Islam sangat besar. Salah satunya yang membuat mereka
seperti itu adalah karena kondisi kehidupannya mendukung. “Sekolah kehidupan”
telah mengajarkan dan membentuk kepribadian yang begitu hebat. Itu sebabnya,
jika sekarang banyak remaja yang amburadul ketimbang remaja yang baik-baik, itu
juga karena model kehidupan yang diajarkan di masyarakat nggak benar. Gimana
pun juga, individu itu pasti akan terwarnai oleh kondisi masyarakat. Kalo
masyarakatnya rusak seperti sekarang, kayaknya udah alhamdulillah banget kalo
masih ada remaja yang selamat kepribadiannya.
Sobat muda muslim, singkat kata,
untuk menjadi remaja yang dewasa tentu satu-satunya cara adalah dengan belajar.
Tanpa belajar, kita nggak akan tahu bagaimana cara berpikir yang dewasa dan
islami, kita nggak akan ngeh juga seperti apa berbuat yang benar, dewasa, dan
sesuai ajaran Islam. Sabda Rasulullah saw.: “Apabila Allah menginginkan
kebaikan bagi seseorang maka dia diberi pendalaman dalam ilmu agama.
Sesungguhnya memperoleh ilmu hanya dengan belajar.” (HR Bukhari)
Nah, untuk memudahkan kita dalam berpikir dan berbuat
dewasa dalam pandangan Islam, wajib juga adanya peran besar dari negara untuk
mewujudkannya. Seperti apa? Misalnya, negara harus mengawasi isi media
0 komentar:
Posting Komentar