Ortu adalah
teladan, guru, dan sekaligus pelindung kita. Betapa mulianya jasa mereka
membesarkan kita. Dari kecil hingga segede sekarang ini. Apalagi ibu, beliau
melindungi kita sejak masih dalam rahimnya sampai saat ini, dan insya Allah
sampai akhir hayatnya. Kasih ibu memang sepanjang masa. Nggak pernah luntur di
telan jaman. Nggak bakalan pudar dimakan usia. Amat besar cintanya kepada kita.
Tinggal bagaimana cinta kita kepada mereka.
Sobat muda
muslim, jaman berubah begitu cepatnya. Sampe-sampe kata Bung Ebiet G. Ade dalam
sebuah lagunya, “Roda jaman menggilas kita. Terseret tertatih-tatih. Sungguh
hidup terus diburu, berpacu dengan waktu…”. Bung Ebiet boleh jadi benar
bersenandung begitu. Sebab, jaman kiwari ini, dampak perubahan jaman nggak
selamanya berbuah kebaikan. Justru sebaliknya, adakala-nya terjadi perubahan ke
arah kerusakan nilai.
Ambil contoh,
ada anak yang tega membunuh ortunya. Mungkin masih ingat kejadian beberapa
tahun lalu di Medan, seorang anak SMU tega membantai anggota keluarganya;
kakaknya, ibu, dan bapaknya. Aduh, entah setan apa yang merasuk dalam benaknya.
Tapi yang pasti, energi cinta sang anak yang seharusnya dialirkan kepada
ortunya, ternyata sudah habis tak berbekas, hingga tega “mengantarkan” mereka
ke liang lahat secara paksa.
Berubahnya gaya
hidup yang seperti inilah yang sangat kita khawatirkan, kawan. Di jaman penulis
kecil, ortu adalah segalanya. Ayah memelototkan mata saja, tanda nggak suka
dengan perbuatan yang penulis lakukan, rasa takut langsung memenuhi pikiran.
Nggak berani balik memandang tajam ke arah wajahnya. Nggak. Nggak berani.
Dengan ibu juga demikian, setiap kali ibu minta tolong, rasanya kok nggak enak
kalo harus menolak. Meski adakalanya juga menolak, tapi kemudian merasa amat
bersalah. Entahlah. Tapi yang pasti, penulis melihat itu secara objektif, kok.
Sebab banyak juga teman-teman main penulis yang hormat dan patuh pada ortunya.
Mungkin saat itu nggak banyak informasi rusak masuk ke rumah-rumah lewat
televisi. Ya, bisa jadi.
Kalo sekarang?
Aduh, berubah total ketimbang 20-an atau 30-an tahun ke belakang. Kalo dulu,
betapa rasa hormat kepada ortu masih tersimpan di lubuk hati yang paling dalam.
Terawat dan terjaga dalam bingkai rasa cinta. Sekarang rasa cinta itu pudar
menjadi sikap saling membenci dan penuh rasa curiga.
Hubungan anak
dengan ortu aja sekarang makin kendor. Perhatian ortu yang mulai terbelah
mungkin bisa menjadi sebab lunturnya kemesraan antara ortu dan anaknya. Gimana
nggak, kalo dulu seorang ibu cukup di rumah menjaga anak-anak dan melindungi
kehormatan keluarga, sekarang harus ikutan keluar rumah dan bekerja untuk
menopang kebutuhan ekonomi keluarga. Sebab katanya di jaman sekarang nggak
cukup cuma mengandalkan tenaga suami. Meski sebetulnya banyak juga para ibu
yang terseret arus karena nggak tahu apa-apa. Yang ia tahu hanya satu:
emansipasi.
Akibatnya, mudah
ditebak, jarak antara anak dengan ortu
menjadi renggang, dan itu banyak menimbulkan masalah. Rasa cinta dan sayang
hanya dihargai dengan uang, bukan lagi perhatian dan sikap lemah lembut.
Anaknya? Karena diajarkan seperti itu, ia mulai belajar membenci. Jangan heran
pula bila kemudian anak menjadi musuh bebuyutan ortunya. Aduh sedih deh!
Sobat muda
muslim, rasa sayang tidak bisa hanya diukur dari materi semata. Nggak.
samasekali Nggak bisa. Itu sebabnya, dalam tulisan kali ini, kita berupaya
merekatkan kembali hubungan antara ortu dan anak yang mulai retak dan hampir
lepas. Dan alangkah indahnya bila kita mencoba berinisiatif untuk mencintai
mereka. Insya Allah, ortu kita akan terharu dengan sikap kita. Lagipula, untuk
berbuat baik, kenapa harus menunggu ortu menyapa kita? Tul nggak? Yap, salurkan
energi cinta kita buat mereka. Walau bagaimanapun juga mereka berhak
mendapatkannya dari kita. Dan kita, wajib memberikannya. Itu pasti, biar tambah
mesra!
Kita lahir
karena “cintanya”
Suatu saat
nanti, kamu akan tahu sendiri betapa bahagianya punya anak. Ortu kita juga
demikian, rasa cinta mereka bersatu dalam ikatan pernikahan, lalu lahirlah
kita, anaknya. Sebab rasa cinta adalah perwujudan dari naluri mempertahankan
jenis. Buktinya apa? Banyak pasangan yang sudah lama menikah, merasa gelisah
bila belum punya anak. Berarti di sini jelas, bahwa cinta berbeda dengan seks
dalam pengertian hubungan biologis semata.
Setelah kita
lahir, tanggung jawab ortu bertambah, yakni merawat dan membesarkan kita. Dan
itu dijalaninya dengan rasa cinta dan sayangnya yang menggunung. Ayah kita rela
berpanas-panas dan basah kuyup mencari uang untuk beli susu dan makanan kita.
Adakalanya bagi para ayah yang kebetulan kondisi ekonominya termasuk golongan
“alit” alias pas-pasan, mereka mencari nafkah harus dengan mengeluarkan
keringat, dan bahkan juga darah. Kamu bisa lihat bagaimana para buruh kasar di
pabrik, pasar, dan juga pelabuhan. Apa yang bisa kamu bayangkan saat melihat
mereka tengah berjuang? Ya, itu bagian dari tanggung jawabnya. Dan jangan lupa,
juga bagian dari rasa cinta mereka untuk anak dan istrinya.
Sobat muda
muslim, pernahkah kita mengukur rasa cinta kita kepada ortu? Seberapa besar sih
rasa cinta kita kepada ortu? Sebab, ada kalanya kita suka itung-itungan dengan
ortu kita. Bener nggak? Misalnya, kalo kamu udah jagain adik, kamu suka minta
jatah es krim sepulang ibu dari pasar. Apalagi yang berkaitan dengan pekerjaan
beres-beres rumah, ujungnya kita suka minta imbalan uang atau barang lainnya.
Malah ada juga di antara teman remaja yang masang “tarif” duluan sebelum
bekerja. Kita bersedia melakukan pekerjaan itu, tapi ada syaratnya: ada uang
jajannya sebagai “sogokan”. Kalo nggak, kagak pake deh! Waduh kejamnya!
Ada cerita
menarik yang berhubungan dengan tema ini dari buku Chicken Soup for the Soul
karya Jack Canfield dan Mark Victor Hansen. Dikisahkan ada seorang anak yang
menyodorkan selembar kertas berisi tulisan semacam tagihan kepada ibu. Isinya:
Memotong rumput 5 dolar, membersihkan kamar 1 dolar, pergi ke toko menggantikan
ibu 0.5 dolar, menjaga adik waktu ibunya belanja 0.25 dolar, membuang sampah 1 dolar,
untuk rapor yang bagus 5 dolar, dan untuk membersihkan dan menyapu halaman 2.99
dolar. Total utang ibu kepadaku: 14.75 dolar.
Si ibu menatap
anaknya lekat-lekat, lalu mengambil bolpen, dan kemudian menulis di balik
kertas tersebut. Isinya begini: Untuk sembilan bulan ketika Ibu mengandung kamu
selama tumbuh dalam perut Ibu, Gratis. Untuk semua malam ketika Ibu menemani
kamu, mengobati kamu, dan mendoakan kamu, Gratis. Untuk semua saat susah, dan
semua air mata yang kamu sebabkan selama ini, Gratis. Kalau dijumlahkan semua,
harga cinta Ibu adalah Gratis. Untuk semua malam yang dipenuhi rasa takut dan
untuk rasa cemas di waktu yang akan datang, Gratis. Untuk mainan, makanan,
baju, dan juga menyeka hidungmu, Gratis, Anakku. Dan kalau kamu menjumlahkan semuanya,
harga cinta sejati Ibu adalah Gratis.
Setelah itu, si
anak berkata kepada ibunya, “Bu, aku sayang sekali sama Ibu.” Dan kemudian si
anak mengambil bolpen dan menuliskan dengan huruf besar: “LUNAS”
Nah, ini sekadar
contoh aja sobat, betapa kita kadangkala suka itungan banget sama ortu kita.
Kita mogok melakukan perintahnya, hanya karena uang jajan belum masuk kantong
kita. Jangan lagi deh! Suer jangan
lagi!!.
Wajib
menghormati mereka
Emang sih,
namanya hidup berdampingan, apalagi ini sama ortu kita, selalu aja ada
gesek-gesek dikit itu wajar. Ibarat piring-piring yang kita cuci, selalu aja
ada gesekan, sekecil apapun. Namanya juga hidup bersama.
Menghadapi ortu
nggak selamanya berjalan sesuai harapan, artinya nggak dapat masalah. Suatu
saat bisa jadi kita sama-sama punya kepentingan. Di sinilah akhirnya kita kudu
bersikap bijak. Ya, kita coba untuk
belajar mengerti sobat. Misalnya aja kamu seneng nonton siaran langsung sepak
bola. Tapi dalam waktu yang bersamaan ortu kita juga pengen nonton wayang
kulit. Kalo sama-sama ngotot kan repot. Apalagi itu hobi beratnya. Wuih, bisa
perang saudara itu.
Jangankan cuma
urusan kecil model begitu, untuk urusan yang rada gawat sekalipun kita tetap
kudu menghormati mereka, meski ada batasannya; kita nggak boleh melaksanakan
permintaannya untuk menyuruh maksiat.
Dalam kitab al-'Isyrah, Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang
sampai kepada Sa'ad bin Malik, dia berkata: "Dahulu aku seorang
laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Setelah masuk Islam, ibuku berkata:
"Hai Sa'ad! Apa yang kulihat padamu telah mengubahmu, kamu harus
meninggalkan agamamu ini atau aku tidak akan makan dan minum hingga aku mati,
lalu kamu dipermalukan karenanya dan dikatakan: Hai pembunuh ibu!" Aku
menjawab: "Hai Ibu! Jangan lakukan itu". Sungguh dia tidak makan,
sehingga dia menjadi letih. Tindakannya berlanjut hingga tiga hari, sehingga
tubuhnya menjadi letih sekali. Setelah aku melihatnya demikian aku berkata:
"Hai Ibuku! Ketahuilah, demi Allah, jika engkau punya seratus nyawa, lalu
engkau menghembuskannya satu demi satu maka aku tidak akan meninggalkan agamaku
ini karena apapun. Engkau dapat makan maupun tidak sesuai dengan
kehendakmu". (Tafsir Ibnu Katsir III/791).
Rasa kesal sekalipun kepada ortu jangan pernah kita tunjukkan dalam sikap atau
kata-kata. Bersabar, itu lebih baik bagi kita. Firman Allah Swt.:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya
kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. (TQS
al-Isrâ’ [17]: 23)
Walau
bagaimanapun juga ortu adalah segalanya buat kita. Rasa hormat dan cinta kasih
kita tetap untuknya. Kapan lagi kalo tidak saat ini. Sebab, inilah salah satu
bentuk berbakti kepada mereka. Allah Swt. berfirman:
Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil". (TQS al-Isrâ’ [17]: 24)
Dari Abdullah
Bin Mas'ud berkata:
"Aku
bertanya kepada Rasulullah: "Amalan apakah yang dicintai oleh
Allah" Beliau menjawab: "Sholat pada waktunya. Aku bertanya lagi:
"Kemudian apa" Beliau menjawab: "Berbakti kepada kedua orang
tua". Aku bertanya lagi: "Kemudian apa" Beliau menjawab:
"Jihad dijalan Allah". (HR. Bukhari dan Muslim).
Sobat muda
muslim, masih banyak ayat dan hadis yang berkaitan dengan persoalan ini. Kamu
bisa eksplor lagi deh. Hmm.. betapa kalo kita mau sedikit bersikap bijak untuk
merenung, ternyata cinta kita kepada ortu belum seberapa jika dibanding cinta ortu
kepada kita. Salutnya, mereka nggak pernah itungan sama anaknya. Subhanallah.
Yuk, kita bahagiakan mereka, kita cintai dan hormati mereka berdua. Tapi
bagaimana bila mereka justru menyuruh berbuat maksiat? Jangan penuhi
permintaannya, tapi kita tetap menghormatinya. Tugas kita adalah mengingatkan
aja jika mereka berbuat salah. Itu kan lahan dakwah juga. Tul nggak? Kita
belajar mencintai mereka sepenuh hati. Ridho Allah bergantung kepada ridho
mereka, lho.
sumber : Buletin cendikia
0 komentar:
Posting Komentar